Larangan Menstruasi
Menurut Agama Islam
Islam adalah agama yang syumul (sempurna)
yang mengatur tidak hanya masalah peribadatan tapi sampai hal-hal terkecil dan
sepele pun ada aturannya. Begitu juga dengan masalah haid, semuanya sudah
termaktub dalam Al-Qur’an yang diperkuat oleh As-Sunnah. Dari mulai ciri-ciri
darah haid, sampai hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika sedang haid. Jadi
Saudariku, tidak perlu lagi berpusing-pusing ria sama mitos-mitos yang belum
jelas kevalidan dan keshohihannya.
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan
oleh wanita haid sendiri ada yang sudah menjadi kesepakatn ulama, dan ada pula
yang masih khilaf. Namun pada pembahasan kali ini, penulis hanya akan
membahas hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid yang sudah menjadi
kesepakatan jumhur ulama. Adapun larangan yang sudah menjadi kesepakatan
ulama bagi wanita haid adalah sebagai berikut :
1.
Dilarang melakukan sholat dan tidak diwajibkan untuk mengqadhanya
Perempuan yang sedang haid, lepas
kewajibannya untuk mengerjakan sholat, baik itu sholat fardhu maupun sholat
sunnah. Dan tidak diwajibkan juga untuk mengqadha sholat, kecuali jika telah
masuk waktu sholat tetapi belum melaksanakan sholat kemudian keluar darah haid.
Maka wajib baginya untuk mengqadha sholat tersebut. Misalkan Tina belum sempat
mengerjakan sholat Dhuhur, padahal waktu sudah mendekati Ashar, kemudian dia
mendapatkan haid. Maka wajib bagi Tina untuk mengqadha sholat Dhuhur tersebut
ketika ia telah suci.
Dan apabila wanita haid telah suci
mendekati waktu Ashar, kemudian ketika ia mandi waktu Ashar tiba. Maka wajib hukumnya
bagi wanita itu untuk mengerjakan sholat Dhuhur dan Ashar pada hari itu. Sama
halnya ketika ia suci sebelum terbit fajar, ia berkewajiban untuk mengerjakan
sholat Maghrib dan Isya pada malam harinya. Karena, waktu sholat yang kedua
adalah waktu sholat yang pertama pada saat-saat uzur.
Jumhur ulama berpendapat –di
antaranya Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad- jika seorang
wanita suci dari haid pada akhir siang, maka dia sholat Dhuhur dan Ashar. Dan
apabila suci pada akhir malam, maka dia sholat Maghrib dan Isya. Seperti yang
dinukil dari Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas, karena
waktunya sama di antara dua sholat saat uzur. Maka apabila ia suci di akhir
siang, lalu waktu Dhuhur masih ada, maka ia mengerjakan sholat Dhuhur sebelum
Ashar. Jika ia suci pada akhir malam, lalu sholat Maghrib masih pada saat uzur,
maka ia mengerjakan sholat Maghrib sebelum Isya. (Lihat Majmu’
Al-Fatawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah)
2.
Dilarang melakukan shaum dan diwajibkan untuk mengqadha shaum
Perempuan yang sedang haid juga
diharamkan untuk shaum, baik itu yang wajib maupun yang sunnah. Dan
diwajibkan untuk mengqadha shaum yang wajib (shaum Ramadhan) yang
ditinggalkannya karena haid. Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda
:
أَلَيْسَتْ إِحْدَاكُنَّ إِذَا
حَاضَتْ لاَ تَصُوم وَلاَ تُصَلِّي
“Bukankah salah seorang di antara kamu
(wanita) apabila memasuki masa haid tidak sholat dan tidak pula puasa?” (HR. Bukhari)
قَالَتْ عَائِشَة رَضِيَ الله
عَنْهَا: «كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ
الصَّلاَةِ» متفق عليه
‘Aisyah radhiyallahu ’anha berkata :
“Kami diperintahkan untuk mengqadha shaum dan tidak diperintahkan untuk
mengqadha sholat.” (HR. Muslim)
Apabila seorang wanita haid ketika
sedang berpuasa, maka batallah puasanya. Sekalipun hal itu terjadi menjelang
maghrib, dan wajib baginya mengqadha puasa hari itu apabila itu puasa wajib.
Namun, jika hanya merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelum maghrib, tetapi
baru keluar darah setelah maghrib, menurut pendapat yang rajih puasanya
sah dan tidak batal. Karena darah yang masih berada di dalam rahim belum ada
hukumnya.
Begitu juga apabila suci menjelang
fajar dan telah berniat untuk berpuasa, maka puasanya sah. Syarat sahnya puasa
itu tidak tergantung pada mandinya, tidak seperti sholat. Seperti halnya orang
dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan
belum sempat mandi, kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Hal ini
berdasarkan haidts ’Aisyah radhiyallahu ’anha yang mengatakan :
”Pernah suatu pagi pada bulan
Ramadhan, Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam
dalam keadaan junub karena jima‘, bukan karena mimpi, lalu beliau
berpuasa Ramadhan.“ (HR. Muttafaq ’alihi)
3.
Dilarang melakukan thawaf
Wanita yang sedang haid juga
dilarang untuk melakukan thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun
sunnah, dan tidak sah thawafnya. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah shalallahu
’alaihi wa sallam kepada ’Aisyah ketika ia sedang haid :
افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الحَاجَّ غَيْرَ ألَّا تَطُوفِي
بِالبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
“Lakukanlah
segala yang dilakukan oleh orang yang berhaji. Hanya saja, engkau tidak boleh
thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.”
(HR.Bukhari)
Adapun kewajiban lainnya, seperti sa’i
antara Shafa dan Marwa, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina,
melempar jumrah dan amalan haji serta umrah. Dan selain itu tidak diharamkan.
4.
Dilarang melakukan hubungan seksual
Seorang istri yang sedang haid
dilarang melakukan hubungan seksual dengan suaminya. Dan si istri yang sedang
haid dilarang untuk menutup-nutupi keadaan dirinya yang sedang haid,
sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat
222 :
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً
فَاعْتَزِلُوا النِّساءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
فَإِذا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang
haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran", oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, Maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri.”
Rasulullah shalallahu ’alaihi wa
sallam juga menyebutkan larangan menggauli istri yang sedang haid dalam
haidts beliau :
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْئٍ إِلَّا النِّكاحَ
“Lakukanlah
apa saja kecuali berhubungan seksual.”
Maksud dari kata nikah di sini
bukanlah akad nikah, tetapi hubungan suami-istri atau jima’. Jumhur ulama juga
sepakat atas diharamkannya menggauli istri yang sedang haid. Syaikhul Islam
ibnu Taimiyah berkata : “Menyetubuhi wanita nifas sama hukumnya dengan
menyetubuhi wanita haid, yaitu haram menurut kesepakatan ulama.”
5.
Dilarang dijatuhi talak (cerai)
Seorang suami dilarang menjatuhi
menceraikan istrinya yang sedang haid, sebagaimana firman Allah subhanahu wa
ta’ala dalam surat Ath-Thalaq ayat 1:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذا طَلَّقْتُمُ النِّساءَ
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
“Hai
nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)….”
Maksud adalah seorang istri ditalak
dalam keadaan dapat menghadapi iddah. Hal ini hanya dapat dilakukakn jika istri
dalam keadaan suci dan belum digauli lagi. Masalahnya, seorang wanita jika
dicerai dalam keadaan haid, ia tidak siap menghadapi iddahnya, karena haid yang
dialaminya pada saat jatuhnya talak itu tidaklah terhitung iddah. Jadi
menjatuhi talak kepada istri yang sedang haid, haram hukumnya.
Nah, itu dia hal-hal yang tidak
boleh dilakukan oleh perempuan yang sedang haid berdasarkan nash Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang sudah menjadi kesepakatan jumhur ulama. Nggak ada kan
larangan-larangan untuk memotong kuku, mencuci rambut, memotong rambut, apalagi
tidur siang! Insya Allah pada pembahasan selanjutnya akan penulis bahas hal-hal
yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid yang terdapat perbedaan di
antara jumhur ulama (khilafiy).
Wallahu a’lam bishowab
Sumber : Syaikh Muhammad Bin Shaleh
Al 'Utsaimin
-
Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin Nisaa', Syaikh Muhammad bin
Sholih Al-‘Utsamin
-
Majmu‘ Al-Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
-
Su’al wa Jawab fii Ahkami Al-Haid, Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsamin
-
Darah Kebiasaan Wanita, Ustadzah Ainul Millah, Lc
Cr : Nadhiva Zahra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar