PENGERTIAN BUNGA
Menurut Muhammad Hatta riba adalah pinjaman yang bersifat konsumtif sedangkan
bunga pinjaman yang bersifat produktif. Bunga adalah
tambahan yang diberikan oleh bank atas simpanan atau yang di ambil oleh bank
atas hutang.
Secara
leksikal bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Sedangkan secara istilah
bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dinyatakan dengan
prosentase dari uang yang dipinjamkan. Sedangkan pengertian bank menurut
Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tanggal 10 November
1998 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.
Dasar Hukum
Al-Qur’an
menjelaskan tentang riba, pada surat Al-baqarah:275 dan ayat inilah yang
menjadi hukum mengenai status riba
الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا
لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُُ مِّن
رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang
makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176]
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah:275)
catatan kaki:
[174]riba itu ada
dua yaitu riba nasiah dan riba fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang
disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu
barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang
yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang
berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175]. Maksudnya:
orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan
syaitan.
[176]. Riba yang
sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak
dikembalikan.
يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا
وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah[177].
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa[178].(Al-Baqarah:276)
catatan kaki:
[177]. Yang
dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau
meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah
memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan
berkahnya.
[178]. Maksudnya
ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah:278)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan. (Ali ‘Imran:130)
[228].
Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi’ah. Menurut sebagian besar ulama
bahwa riba nasi’ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Lihat
selanjutnya no. [174].
وَمَآءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا
لِيَرْبُوا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوا عِندَ اللهِ وَمَآءَاتَيْتُم
مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
(Ar-Rum:39)
Pendapat para
ulama
Fatwa ulama Indonesia tentang bunga bank dapat dibedakan menjadi dua:
fatwa yang bersifat individual dan fatwa yang berupa keputusan organisasi
sosial Islam. Fatwa ulama tentang bank lebih banyak terfokus pada sistem rente
atau bunga yang dianggap sebagai “nyawa” perbankan konvensial.
Pendapat Ulama Perorangan tentang Bunga Bank
Menurut Ahamd Azhar Basyir, Abu al-A`la al-Maududi dan Muhammad Abdullah
al-`Arabi (penasehat hokum Islamic Congress Cairo), keberatan dengan perbankan
yang menggunakan bunga; akan tetapi, di sisi lain, perbankan berperan vital
dalam perekonomian. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa umat Islam
dibolehkan melakukan aktivitas mu`amalah dengan bank-bank konvensional dengan
alasan keterpaksaan (al-dharûrat).
Mushthafa Ahmad al-Zarqa
berpendapat bahwa: (1) sistem perbankan yang menggunakan bunga sebagai
penyimpangan yang bersifat sementara; (2) riba adalah praktek pemerasan dari
orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin; dan (3) bank-bank yang ada
dinasionalisasi sehingga menjadi milik negara untuk menghilangkan unsur-unsur
eksploitasi.
A. Hassan (ulama Indonesia yang produktif pada zamannya dan dikenal sebagai
pendiri Persatuan Islam, Persis), meulis banyak buku dan salah satunya adalah Kitab
Riba. Akan tetapi, dari sejumlah buku yang ditulisnya, buku
yang paling masyhur di masyarakat adalah Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah
Agama yang diterbitkan oleh CV. Diponegoro Bandung.
Dalam buku tanya jawab tersebut, A. Hassan ditanya
mengenai hukum bunga di bank. A. Hassan berpendapat bahwa bunga bank boleh
diambil (halâl).
Abdul Halim Hasan (penulis Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm
dari Medan) dan Kaharuddin Yunus (penulis buku Sistim Ekonomi Menurut Islam),
berpendapat bahwa bunga bank, baik besar maupun kecil, termasuk riba yang
dilarang oleh Allah.
Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah
tentang Bank
Pandangan
Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai bunga bank dapat dilihat dalam
keputusannya sebagai berikut: (a) bank dengan sistem riba, hukumnya haram dan
bank tanpa riba hukumnya halal. (b) bunga bank yang diberikan oleh bank-bank
milik negara kepada para nasabah atau sebaliknya, termasuk perkara mutasyabihat.
(c)
hukum asuransi jiwa yang dilakukan oleh pemerintah: (1) Perum Jasa Raharja; (2)
Perum Taspen; (3) Perum Asabri; (4) Perum Astek; dan (5) Perum Husada Bhakti
(Askes) adalah boleh (mubâh). (d) hukum asuransi jiwa yang mengandung
unsur-unsur riba, maysîr, ketidakadilan, gharâr, ghasy, dan menyalahi hukum kewarisan Islam, adalah
haram. Sedangkan hukum asuransi jiwa yang tidak mengandung unsur-unsur tersebut
adalah boleh; dan (e) hukum asuransi jamaah haji adalah boleh apabila: (1)
tidak memberatkan jamaah haji; (2) dikelola oleh pemerintah sendiri (dalam hal
ini Departemen Agama); (3) dana yang terkumpul digunakan untuk kemashlahatan
umat; dan (4) pengelolaan dana bersifat terbuka.
Fatwa MUI tentang Bunga Bank
Ketetapan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang
bunga bank terdiri atas tiga bagian: Pertama, pengertian bunga dan riba.
Dalam keputusan tersebut dikatakan bahwa bunga bank adalah tambahan yang
dikenakan untuk transaksi pinjaman uang yang diperhitungkan dari pokok pinjaman
tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan lamanya
peminjaman (durasi), dan diperhitungkan secara pasti di awal berdasarkan
prosentase. Selanjutnya, dalam akpeputusan tersaebut dijelaskan bahwa riba adalah
tambahan (زيادة) tanpa imbalan (بلا
عوض) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (زيادة الأجل) yang diperjanjikan sebelumnya (اشتراط مقدما). Ini adalah riba nasî`at.
Kedua, dalam keputusan tersebut ditetapkan
bahwa praktek pembungaan uang dalam berbagai bentuk transaksi saat ini telah
memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad Saw., yakni riba nasî`at.
Dengan demikian, praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan
haram hukumnya. Terdapat
tambahan informasi sebagai lanjutan dari keputusan tersebut, yaitu bahwa
praktek pembungaan uang banyak dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal,
Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya, termasuk juga dilakukan oleh
orang-orang tertentu secara perorangan.
Ketiga, hukum bermu`amalah dengam bank yang
menggunakan sistem bunga (bank konvensional). Dalam keputusan tersebut masih
ditetapkan dua hukum mengenai bermu`amalah dengam bank konvensional: bagi
penduduk yang tinggal di daerah yang sudah terbentuk Lembaga Keuangan Syari`ah;
dan bagi penduduk yang tinggal di daerah yang belum terbentuk Lembaga Keuangan
Syari`ah.
Umat Islam yang tinggal di suatu daerah yang sudah
terbentuk Lembaga Keuangan Syari`ah, tidak diperbolehkan (haram) melakukan
transaksi yang didasarkan pada perhitungan bunga. Dengan kata lain, umat Islam
yang tinggal di suatu daerah yang sudah terbentuk Lembaga Keuangan Syari`ah,
diharamkan melakukan transksi dengan bank konvensional; dan juga diharamkan
melakukan transaksi dengan orang lain dengan menggunakan pearhitungan bunga
seperti yang dilakukan di bank-bank konvensional. Umat
Islam yang tinggal di suatu daerah yang belum terbentuk Lembaga Keuangan
Syari`ah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan
konvensional dengan alasan keterpaksaan (al-dharûrat aw al-hâjat).
Allah
Ta’ala berfirman, yang artinya:
Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba. Allah telah menghalalkan perniagaan (jual-beli)
dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan), dan urusannya (terserah) kepada
Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa
berbuat kekafiran/ingkar, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang
yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”(Q.S. Al-Baqarah: 275-279)[3]
Prof.Dr.Yusuf
Al-Qaradhawi dalam pengertian riba mengatakan bahwa sesungguhnya pegangan
ahli-ahli fiqh[4] dalam membuat batasan pengertian riba dalah nash (teks)
Al-Qur’an itu sendiri. Ayat di atas menunjukkan bahwa sesuatu yang lebih dari
modal dasar adalah riba, sedikit atau banyak. Jadi, setiap kelebihan dari modal
asli yang ditentukan sebelumnya karena semata-mata imbalan bagi berlalunya
waktu adalah riba. Batasan riba yang diharamkan oleh Al-Qur’an itu sebenarnya
tidak memerlukan penjelasan yang rumit. Karena tidak mungkin Allah mengharamkan
sesuatu bagi manusia, apalagi mengancam pelakunya dengan siksa yang paling
pedih, sementara bagi mereka sendiri tidak jelas apa yang dilarang itu. Padahal
Allah telah berfirman,
“Allah
telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275).[5]
Prinsip perbankan
Islam adalah menjauhkan riba dan menerapkan sistem bagi hasil dan jual beli.
Ditinjau dari bahasa Arab, riba bermakna: tambahan, tumbuh, dan menjadi
tinggi.[6] Menurut ensiklopedi Islam Indonesia, Ar-Riba makna asalnya ialah
tambah, tumbuh, dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba ialah
tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan
syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak, seperti
yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an.[7] Sedangkan dalam bahasa Inggris, riba
sering diterjemahkan sebagai “usury” yang artinya dalam The American Heritage
Dictonary of the English Language, adalah:
A. the act of lending money at
an exorbitant or illegal rate of interest;
B.
such
of an excessive rate of interest;
C.
archaic
(tidak dipakai lagi, kuno, kolot, lama). The act or practice of lending money
at any rate of interest;
D.
aw,
obsolete (usang, tidak dipakai, kuno). Interest charged or paid on such a loan.[8]
Dr.
Perry Warijo berpendapat bahwa interest dan usury pada hakikatnya adalah sama.
Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam persentase. Istilah usury muncul
karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus
menertapkan suatu tingkat bunga yang dianggap “wajar”. Namun setelah mapannya
lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada
satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.[9]
Diantara
dalil dari hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menunjukkan akan
haramnya riba ialah hadits berikut:
Dari
Shahabat Jabir Radhiyallahu Ta’ala Anhu’ ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam telah melaknati pemakan riba, orang yang memberikan/membayar
riba, penulisnya, dan juga dua orang saksinya.” Dan beliau juga bersabda,
“Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (H.R. Muslim).[10]
“Satu
dirham dari hasil riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya niscaya
dosanya lebih berat daripada dosa 36 (tiga puluh enam) kali berbuat zina.”
(H.R. Ahmad, dan sanadnya digolongkan shahih).[11]
“Riba
itu mempunyai 73 pintu (dosa), di mana pintunya yang paling ringan setara
dengan (dosa) seseorang yang menikahi ibu kandungnya dan pintunya yang paling
berat setara dengan (dosa) menodai kehormatan seorang Muslim.” (H.R. al-Hakim
dan ia menshahihkannya).[12]
Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah memerintahkan untuk mengambil yang
halal dan jelas, serta meninggalkan yang syubhat, apalagi yang jelas
keharamannya.
Dari
Nu’man bin Basyir, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Antara keduanya
ada perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka
barangsiapa yang menjaga diri dari perkara-perkara yang syubhat tersebut maka
berarti ia telah menjaga dien dan kehormatannya, dan barangsiapa yang
terjerumus dalam perkara yang syubhat berarti dia terjerumus kepada yang haram.
Seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan, lambat
laun akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap raja itu
memiliki daerah larangan, sedangkan daerah larangan Allah itu adalah apa-apa
yang diharamkan Allah. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah,
apabila dia baik, maka baiklah seluruh jasad dan apabila dia buruk maka
buruklah seluruh jasad. Dia adalah hati.” (H.R. Bukhari dan Muslim)[13]
Jadi
dapat disimpulkan bahwa riba itu haram. Tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan para ahli ilmu mengenai hal ini. Perbedaan pendapat muncul saat para
ahli ilmu menentukan apakah bunga bank komersial/bank konvensional yang telah
menjadi sistem perekonomian dunia adalah sama dengan riba.
Pendapat Yang Mengatakan Bunga Bank Bukan Riba[14]
Segelintir
Ulama di negara-negara Timur Tengah dan beberapa orang pakar ekonomi di negara
sekuler, berpendapat bahwa riba tidaklah sama dengan bunga bank. Seperti Mufti
Mesir Dr. Sayid Thantawi, yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi
yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan sistem
bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir. Doktor Ibrahim
dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan mengatakan, “Perkataan yang
benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan
perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan,
sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi
perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang
dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang
hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam
Al-Qur’an tentang pengharaman riba.”
Di
Indonesia, pendapat yang mengemuka adalah pendapat pakar ekonomi yang juga
mantan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia, Syafruddin Prawiranegara.
Dalam bukunya Benarkah Bunga Bank Riba (1993) yang diterbitkan penerbit
Ramadhan, Syafruddin berkata, “Jika bunga, walaupun dalam bentuk yang masuk
akal atau ringan, tidak dibolehkan bagi pedagang muslim, maka larangan ini akan
menempatkannya pada suatu posisi yang sangat kaku, janggal, dan tidak
menguntungkan apabila dihadapkan kepada lawannya dari Barat dan Timur Tengah.
Hal ini akan memaksa dia untuk mengikuti cara-cara yang dibuat-buat dalam
melakukan transaksi atau memberikan nama lainnya kepada bunga seperti ongkos
administrasi, hanya untuk menghindari kata riba.”
Pada
halaman 43 Syafruddin berkata “…riba adalah semua bentuk keuntungan yang
berlebih-lebihan yang didapat lewat pekerjaan yang salah. Bunga yang bersifat
komersial dan normal diizinkan dalam Islam.” Selanjutnya pada halaman 36, ia
berkata, “Mengenai Al-Qur’an dan Sunnah, saya tidak mendapati satu ayat pun
dari Al-Qur’an atau hadits Nabi Muhammad yang dapat menyalahkan tafsir saya
tentang riba.”
Mohamad
Hatta berpendapat, bunga bank untuk kepentingan produktif bukanlah riba, tetapi
untuk kepentingan konsumtif riba. Mr. Kasman Singodimedjo berpendapat, sistem
perbankan modern diperbolehkan karena tidak mengandung unsur eksploitasi yang
dzalim, oleh karenanya tidak perlu didirikan bank tanpa bunga. A.Hasan Bangil,
tokoh Persatuan Islam (PERSIS), secara tegas menyatakan bunga bank itu halal
karena tidak ada unsur lipat gandanya. Prof.Dr.Nurcholish Madjid berpendapat
bahwa riba di mengandung unsur eksploitasi satu pihak kepada pihak lain,
sementara dalam perbankan (konvensional) tidaklah seperti itu. Dr.Alwi Shihab
dalam wawancaranya dengan Metro TV sekitar tahun 2004 lalu, juga berpendapat
bunga bank bukanlah riba.
Pendapat Yang Mengatakan Bunga Bank Adalah Riba
Umer
Chapra mengutip Ibnu Manzur dalam kitabnya Lisan al-Arab, mengatakan bahwa
pengertian riba secara harfiah berarti peningkatan, pertambahan, perluasan,
atau pertumbuhan. Tetapi tidak semua peningkatan atau pertumbuhan terlarang
dalam Islam. Keuntungan juga menyebabkan peningkatan atas jumlah pokok, tetapi
hal ini tidaklah dilarang.[15] Maka apa yang sebenarnya diharamkan?
Pribadi
yang sangat tepat untuk menjawab pertanyaan itu adalah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. Beliau melarang mengambil hadiah, jasa, atau pertolongan
sekecil apapun sebagai syarat atas suatu pinjaman. Dalam hadits riwayat Imam
Bukhari, Rasulullah bersabda, “Jika seseorang memberikan pinjaman kepada
seseorang lainnya, dia tidak boleh menerima hadiah.” Dalam hadits riwayat Imam
Baihaqi, Rasulullah bersabda, “Ketika seseorang memberikan pinjaman kepada
orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia tidak
boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan.”
Jawaban Rasulullah ini menyamakan riba dengan apa yang lazim dipahami sebagai
bunga (bunga bank).[16]
Jumhur
(mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena
itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi
Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir
menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam
pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank.[17]
Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman
bunga bank, yaitu:
1. Majma’al Fiqh al-Islamy,
Negara-negara OKI yang diselenggarakan di Jeddah pada tanggal 10-16 Rabi’ul
Awal 1406 H/22 Desember 1985;
2. Majma’ Fiqh Rabithah al’Alam
al-Islamy, Keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di Makkah, 12-19 Rajab
1406 H;
3. Keputusan Dar It-Itfa,
Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
4. Keputusan Supreme Shariah
Court, Pakistan, 22 Desember 1999;
5. Majma’ul Buhuts al-Islamyyah,
di Al-Azhar, Mesir, 1965.
Walaupun
Indonesia termasuk Negara dengan penduduk mayoritas muslim yang terlambat
mempromosikan gagasan perbankan Islam,[18] namun Majelis Ulama Indonesia
(”MUI”) melalui Keputusan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga
(Interest/Fa’idah) berpendapat:
1. Praktek pembungaan uang saat
ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah, yaitu Riba
Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu
bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya;
2. Praktek Penggunaan tersebut
hukumnya adalah haram, baik di lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal,
Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh
individu.
Majelis Ulama Indonesia
berpendapat demikian dengan berdasarkan pada dalil dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah, serta Kesepakatan para Ulama. Berikut petikan Fatwa MUI tentang
Bunga (Interest/Fa’idah):
“…MENGINGAT :
1. Firman Allah
SWT, antara lain :
Orang-orang yang
makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya,lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada
Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
mengerjakan amal shaleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka
mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya. Dan jika (orang-orang berhutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh
mereka sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali’Imran [3]: 130).
2. Hadis-hadis
Nabi s.a.w., antara lain :
Dari
Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan
(mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata: saya bertanya:”(apakah
Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua orang yang menajdi
saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab : “Kami hanya menceritakan apa yang kami
dengar.” (HR.Muslim).
Dari
Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan
(mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia
berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
Dari
Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan datang kepada umat
manusia suatu masa di mana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak
memakan (mengambilnya)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR.al-Nasa’i).
Dari
Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh
dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina
dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
Dari
Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh puluh tiga
pintu (cara, macam).” (HR. Ibn Majah).
Dari
Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil)
riba, memberikan, dua orang yang menyaksikannya.” (HR. Ibn Majah).
Dari
Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan datang kepada
umat manusia suatu masa di mana tak ada seorang pun di antara mereka kecuali
(terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya,ia akan
terkena debunya.”(HR. Ibn Majah).
3. Ijma’ Ulama
tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir)
(lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’Syarch al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar
al-Fikr, juz 9, th 391].
MEMPERHATIKAN :
A. Pendapat para Ulama ahli fiqh
bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang piutang, al-qardh wa
al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang diharamkan Allah SWT, seperti
dikemukakan, antara lain, oleh :
Al-Nawawi
berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab Syafi’i)
berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur’an, atas
dua pandangan. Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang
dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah
adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al-Qur’an, baik riba
naqad maupun riba nasi’ah. Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an
sesungguhnya hanya mencakup riba nasa’ yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah
dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa
(pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran
piutangnya dan pihak berhutang tidak membayarnya, ia menambahkan piutangnya dan
menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat
jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah :
“…janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda… “, kemudian Sunnah menambahkan riba dalam
pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam
al-Qur’an.
1. Ibn al-‘Araby dalam Ahkam
al-Qur’an;
2. Al-Aini dalam ‘Umdah al-Qary;
3. Al-Sarakhsyi dalam
Al-Mabsuth;
4. Ar-Raghib al-Isfani dalam Al-Mufradat
Fi Gharib al-Qur’an;
5. Muhammad Ali al-Shabuni dalam
Rawa-I’ al-Bayan;
6. Muhammad Abu Zahrah dalam
Buhuts fi al-Riba;
7. Yusuf al-Qardhawy dalam
fawa’id al-Bunuk;
8. Wahbah al-Zuhaily dalam
Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh.
B.
Bunga
uang atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang
diharamkan Allah SWT dalam Al-Quran, karena dalam riba tambahan hanya dikenakan
pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam sistem bunga tambahan sudah langsung
dikenakan sejak terjadi transaksi.
C. Ketetapan akan keharaman Bunga
Bank oleh berbagai forum Ulama Internasional, antara lain:
1. Majma’ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965;
2. Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985;
3. Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H;
4. Keputusan Dar Al-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
5. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
1. Majma’ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965;
2. Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985;
3. Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H;
4. Keputusan Dar Al-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
5. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
D. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
(DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga bank
tidak sesuai dengan syari’ah.
E. Keputusan Sidang Lajnah
Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP
Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian
khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
F. Keputusan Munas Alim Ulama
dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank
Islam dengan sistem tanpa Bunga.
G. Keputusan Ijtima Ulama Komisi
Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal
1424/16 Desember 2003.
H. Keputusan Rapat Komisi Fatwa
MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004, 28 Dzulqa’idah 1424/17
Januari 2004, dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon
ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN :
FATWA TENTANG BUNGA (INTEREST/FA`IDAH):
Pertama :
Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
1. Bunga (Interest/fa’idah)
adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang
diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil
pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka,
dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2. Riba adalah tambahan
(ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang
diperjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.
Kedua : Hukum
Bunga (interest)
1. Praktek pembungaan uang saat
ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini
Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu
bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
2. Praktek Penggunaan tersebut
hukumnya adalah haram, baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal,
Pegadian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh
individu.
Ketiga :
Bermu’amallah dengan lembaga keuangan konvensional
1. Untuk wilayah yang sudah ada
kantor/jaringan lembaga keuangan syari’ah dan mudah di jangkau, tidak
diperbolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga.
2. Untuk wilayah yang belum ada
kantor/jaringan lembaga keuangan syari’ah, diperbolehkan melakukan kegiatan
transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip
dharurat/hajat…”[19]
Pendapat Lembaga atau Ahli lainnya adalah sebagai
berikut:[20]
1. Majelis Tarjih
Muhammadiyah
Majelis Tarjih
Sidoarjo tahun 1968 pada nomor b dan c, mengatakan bahwa bank dengan sistem
riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal -bank yang diberikan
oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama
ini berlaku atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara
musytabihat (syubhat).
2. Lajnah Bahtsul
Masail Nahdlatul Ulama
Ada dua pendapat
dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan
bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua
berpendapat bunga bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang
ketiga, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat.
3. Mufti Negara
Mesir
Keputusan Kantor
Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga 1989 menetapkan haramnya bunga
bank dan mengkategorikannya sebagai riba yang diharamkan.
Konsul Kajian Islam
Ulama-ulama
besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas
terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguan atas
keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank
konvensional. Di antara 300 ulama yang tergabung dalam Konsul Kajian Islam ini
tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof.
Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’, Prof. Dr. Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga
dihadiri oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa dan dunia Islam.
Syaikh
Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz mengatakan, “Aku dapati di dalam upaya untuk
menghalalkan riba yang diharamkan Allah dengan metode-metode yang kacau,
hujjah-hujjah yang lemah, dan syubhat-syubhat yang terbantah. Sesungguhnya
perekonomian muslimin telah kukuh berabad-abad yang telah lewat, lebih dari
tiga belas abad tanpa memakai sistem perbankan dan tanpa menggunakan
manfaat-manfaat ribawi. Sungguh kekayaan mereka berkembang baik, dan muamalah
mereka kukuh. Mereka telah meraih keberuntungan yang banyak, harta melimpah
melalui saran muamalah-muamalah yang syar’i. Allah telah menolong generasi
pertama atas musuh-musuh mereka sehingga mereka menguasai sebagian besar
wilayah dunia. Ketika itu mereka menjadikan syariat Allah sebagai hokum, dan
tidak ada sistem perbankan di masa mereka dan mereka tidak memakai
manfaat-manfaat ribawi.”
Prof.Dr.Yusuf
Qaradhawi berkata bahwa perkataan sebagian orang dan Ulama yang melakukan
justifikasi atas kehalalan sistem bunga bank konvensional dengan berdalih bahwa
riba yang diharamkan Allah dan Rasul Nya, adalah jenis yang dikenal sebagai
bunga konsumtif saja, tidak dapat dibenarkan. Sebenarnya tidak ada perbedaan di
kalangan ahli syariah pun sepanjang tiga belas abad yang silam. Ini jelas
merupakan pembatasan terhadap nash-nash yang umum berdasarkan selera dan asumsi
belaka.[21]
Tarek
El-Diwany dalam bukunya The Problem With Interest menyamakan bahaya sistem
bunga dengan entropi dalam fisika. Entropi adalah sebuah kata yang digunakan
untuk menggambarkan tingkat ketidakteraturan dalam suatu sistem fisika. Bahkan
beberapa pakar ekonomi mengatakan bahwa riba (bunga bank) merupakan penyakit
AIDS dalam kehidupan dunia ekonomi yang bisa merontokkan kekebalan dan
mengancamnya dengan kemusnahan serta keruntuhan.[22]
Syaikh
Abul A’la al-Maududi mengatakan bahwa memakan bunga bank dapat menyebabkan
rakus, tamak, kikir, dan egois bagi orang yang mengambilnya. Dapat
mengakibatkan kebencian, kemarahan, permusuhan dan kecemburuan bagi orang yang
membayarkannya. Orang yang memakan riba seperti orang gila, ia kehilangan
perasaan dan intelektualitasnya. Dan dengan cara yang sama, seorang yang suka
meminjamkan uangnya selalu berpikir untuk memperbanyak uangnya sehingga ia
sendiri telah kehilangan perasaannya. Sehingga ia jauh dari memikirkan
kesulitan orang lain. Demikianlah keadaannya di dunia, dan kelak di kemudian
hari ia akan bangkit seperti orang gila pada hari kebangkitan. Karenanya, di
akhirat nanti ia akan hidup kembali dalam kondisi yang sama di waktu ia
mati.[23]
Dr.Muhammad
Syafi’i Antonio, M.Ec, mengatakan bahwa larangan riba (bunga) yang terdapat
dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, namun secara gradual (bertahap).
Tahap pertama menolak anggapan bahwa pinjaman riba nampaknya seolah-olah
menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub
kepada Allah. Tahap kedua riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah
mengancam member balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan
tingkat yang tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan saat itu. Tahap
terakhir, Allah dengan tegas dan jelas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang
diambil dari pinjaman. Karena itulah dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9
Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah menekankan sikap tegas Islam dalam
melarang riba (bunga):
“Ingatlah
bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalmu. Allah
telah melarang kamu mengambil riba, karena itu utang akibat riba harus
dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita
ataupun mengalami ketidakadilan.”[24]
Bunga Bank dalam Islam
Banyak pendapat
dan tanggapan di kalangan para ulama ahli fikih klasik maupun kontemporer
tentang apakah bunga bank sama dengan riba atau tidak.
A. Pendapat yang Mengatakan
Diperbolehkannya Bunga Bank
Pendapat
atau fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Akbar Syekh mahmud Syaltut adalah
“pinjaman berbunga dibolehkan bila sangat dibutuhkan”Namun terdapat beberapa
hal yang harus diperhatikan mengenai dibolehkannya bunga ini, yaitu :
Dalam
keadaan darurat bunga
halal hukumnya.
Hanya
kredit yang bersifat komsumtif saja yang pengambilannya dilarang, adapun yang
produktif tidak demikian. Bunga
diberikan sebagai ganti rugi atas hilangnya kesempatan untuk memperoleh
keuntungan dari pengelolaan dana tersebut. Uang dianggap sebagaimana barang lainnya sehingga dapat
disewakan atau diampil upah atas penggunaannya.
Sedangkan
menurut Fazlur Rahman dikatakan bahwa pelarangan bunga hanya berlaku pada suku
bunga yang sangat tinggi dan tidak pada semua bentuk bunga. Hal ini didasarkan
pada surat Ali Imran ayat 130 :
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda….” (QS. Ali Imran: 130).
B.
Pendapat
yang Mengatakan Diharamkannya Bunga Bank
Sebagian
besar ulama’ mengatakan bahwa semua jenis bunga adalah termasuk riba dimana
bunga termasuk pada riba nasiah (riba yang disebabkan hutang), sedangkan riba
jelas dilarang dalam Islam.
Kesamaan
antara praktik bunga bank dan riba sulit dibantah, apalagi secara nyata
aplikasi sistem bunga pada perbankan lebih banyak dirasakan mudharatnya dari
pada manfaatnya. Kemadharatan sistem bunga sehingga dikategorikan sebagai riba,
karena ada unsur yang dilarang menurut agama atau menyebabkan kesengsaraan
ekonomi bagi pihak yang melakukan peminjaman dengan bunga. Sedangkan menurut
Razi, ada beberapa alasan mengenai diharamkannya riba, yaitu :
1.
Perampasan
hak milik orang lain tanpa ada nilai imbangan.
2.
Menghalangi
orang dari keikutsertaan dalam profesi-profesi aktif.
3.
Hanya
memperkaya orang yang sudah kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin.
HAPPY NEW YEAR HAPPY NEW YEAR HAPPY NEW YEAR
BalasHapusDARI-rossastanleyloancompany
Apakah Anda membutuhkan kredit yang mendesak?
* Sangat Cepat dan Transfer Instan ke rekening bank anda
Bayar kembali bulan setelah Anda mendapatkan pinjaman Anda di bank Anda
akun bank
* Suku bunga rendah 2%
* Long term payback (1-30) Long
* Pinjaman fleksibel dan gaji bulanan
*. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membiayai? Setelah mengajukan pinjaman
Anda mungkin mengharapkan jawaban awal kurang dari 24 jam
pembiayaan dalam 48Hours setelah menerima informasi yang mereka butuhkan
Dari kru Di perusahaan pinjaman ROSSA STANLEY, kami adalah perusahaan pembiayaan yang berpengalaman yang menyediakan fasilitas pinjaman mudah untuk tulus, serius, korporat, legal dan publik dengan tingkat bunga 2%. Kami memiliki akses ke koleksi uang tunai untuk diberikan kepada perusahaan dan mereka yang memiliki rencana untuk memulai bisnis tidak peduli seberapa kecil atau besarnya, kami memiliki uang tunai. Yakinlah bahwa kesejahteraan dan kenyamanan Anda adalah prioritas utama kami, mengapa kami berada di sini untuk mengurus pemrosesan pinjaman Anda.
Hubungi perusahaan pinjaman yang sah dan dapat dipercaya dengan track record layanan yang memberikan kebebasan finansial kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Untuk informasi lebih lanjut dan pinjaman yang meminta untuk mendirikan bisnis Anda, belilah rumah, beli mobil, liburan, hubungi kami via,
E-mail Resmi: rossastanleyloancompany@gmail.com
Instagram resmi: Rossamikefavor
Twitter resmi: Rossastanlyloan
Official Facebook: rossa stanley favor
CSN: +12133153118
untuk respon cepat dan cepat.
Silahkan mengisi formulir aplikasi di bawah ini dan kami akan menghubungi Anda lagi, Kami tersedia 24/7
DATA PEMOHON
1) Nama Lengkap:
2) Negara:
3) Alamat:
4) Jenis Kelamin:
5) Status Perkawinan:
6) Pekerjaan:
7) Nomor Telepon:
8) posisi saat bekerja:
9) Penghasilan Bulanan:
10) Jumlah Pinjaman yang Dibutuhkan:
11) Durasi Pinjaman:
12) nama facebook:
13) nomor Whatsapp:
14) Agama:
15) Tanggal lahir:
SALAM,
Mrs.Rossa Stanley Favor
ROSSASTANLEYLOANCOMPANY
Email rossastanleyloancompany@gmail.com